Berbagi Informasi itu Menyenangkan

Seputar Etika Pergaulan Antar Lawan Jenis

Ketika kita membicarakan permasalahan-permasalahan seputar etika pergaulan antar lawan jenis – yang kebanyakan bersifat tahsiniyyat – maka kita haruslah lebih peduli lagi terhadap berbagai permasalahan yang lebih penting. Sebagai sebuah gambaran, apabila untuk “meminjam” milik orang lain tanpa ijin saja seseorang merasa enggan maka untuk mencuri tentunya dia lebih enggan lagi. Pemahaman semacam ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai fiqh aulawiyyat.

Ketika seseorang menunaikan tahsiniyyat maka sebetulnya dia telah melindungi aspek hajiyyat (dalam masalah tersebut). Dan ketika suatu aspek hajiyyat ditunaikan maka sebetulnya suatu aspek dharuriyyat (dalam masalah tersebut) telah terlindungi. Jadi dengan menunaikan hal-hal yang bersifat tahsiniyyat, berarti seseorang telah membangun sebuah benteng yang amat kuat bagi keselamatan dirinya (atau dalam dunia teknik, barangkali bisa diibaratkan dengan angka keamanan yang tinggi).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya dalam masalah-masalah yang dalilnya tidak sekaligus qath’iy al-tsubut dan qath’iy al-dalalah, selalu terbuka kemungkinan adanya perbedaan pendapat. Para ulama ushuliyyin mengatakan bahwa keluar dari wilayah yang diperselisihkan adalah lebih utama (al-khuruj min al-ikhtilaf afdhal). Sekalipun demikian, yang dimaksudkan dengan wilayah yang diperselisihkan disini hanyalah meliputi perselisihan yang mu’tabar, dan tidak memasukkan berbagai pendapat yang tidak memiliki pijakan kuat (yang sering disebut sebagai pendapat dha’if dan syadzdz). Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy, jika kita diharuskan untuk tidak bertentangan dengan semua pendapat yang ada, termasuk yang dhaif dan syadzdz, maka agama ini pasti akan berubah menjadi kumpulan kehati-hatian yang ekstrem dan amat menyulitkan. Padahal, diantara karakteristik Islam adalah al-rahmat dan al-samahat.
Metodologi Penetapan Hukum

Pembahasan ini akan dilakukan dalam kerangka ilmiah, diusahakan sebisa mungkin bebas dari hawa nafsu dan berbagai unsur emosional negatif, yang bisa merusak rasionalitas hukum (legal rationality). Jadi kerangka akhlaqi yang harus senantiasa dijunjung adalah keterbebasan dari berbagai penyakit hati seperti kecenderungan bersenang-senang, amarah, dendam, putus asa, iri hati, dan berbagai emosi negatif lainnya. Sebaliknya pembahasan ini harus dilakukan dalam suasana ikhlas, wara’ (menjauhi syubhat), optimis, penuh kasih-sayang, adil, dan berbagai sifat mental positif lainnya.

Yang dimaksud dengan kerangka ilmiah disini adalah bahwasanya pembahasan harus senantiasa dilandaskan secara radikal pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Berbagai khazanah keilmuan klasik seperti ushul fiqh, ilmu bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, dan berbagai pendapat ulama terdahulu merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya dalam pembahasan ini. Demikian pula pendapat para ulama kontemporer.

Mula-mula permasalahan dirujukkan pada Al-Qur’an. Apabila diperoleh hujjah dengan dalalah qath’iy maka itulah solusinya. Pencarian solusi melalui Al-Qur’an dilakukan secara maudhu’i dengan cara mengumpulkan berbagai ayat yang relevan. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut saling menafsirkan satu sama lain (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an). Hadits-hadits mutawatir juga bisa dijadikan hujjah dengan tingkat otoritas yang hampir sama dengan Al-Qur’an.

Apabila pendekatan diatas belum menyelesaikan masalah maka kita merujuk pada hadits-hadits shahih. Dalam persoalan-persoalan hukum (halal dan haram, boleh dan tidak boleh), hadits-hadits yang digunakan haruslah shahih. Apabila seolah-olah ada kontradiksi antara hadits-hadits shahih maka sedapat mungkin kita melakukan jam’ wa taufiq (kompromi). Namun, jika jam’ wa taufiq tidak bisa dilakukan maka terpaksa kita melakukan tarjih. Tarjih yang dilakukan oleh setiap orang bisa saja berbeda. Hal ini diperbolehkan asalkan dilakukan secara ilmiah. Apabila ternyata tarjih juga sulit dilakukan maka kita memilih tawaqquf (diam dan toleran, sembari terus menggiatkan pengkajian)

Sebagai bahan pertimbangan, seringkali kita harus mengambil berbagai dugaan (asumsi). Dugaan yang dianggap absah adalah dugaan yang kuat, mendekati keyakinan. Suatu dugaan dianggap kuat karena amat lazim berlaku dan meliputi kebanyakan orang. Suatu dugaan tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan apabila sifatnya amat spekulatif atau subyektif.

Dalam mengambil suatu keputusan hukum secara ijtihadiy, cara yang paling efektif adalah dengan memahami ‘illah-nya. ‘Illah bisa dibedakan atas ‘illah manshushah (‘illah yang ditetapkan dengan nash) dan ‘illah muktasabah (‘illah mustanbathah, ‘illah yang ditetapkan melalui analisis). ‘Illah merupakan sifat yang menjadi esensi suatu persoalan. Para ahli ushul fiqih memiliki sebuah cara yang efektif untuk menetapkan ‘illah muktasabah pada suatu persoalan, yakni dengan terlebih dulu mendaftar berbagai karakteristik persoalan tersebut. Selanjutnya, berbagai karakteristik tersebut disortir untuk dipilih yang paling hakiki. Cara ini sering disebut sebagai thariqat al-sabr wa al-taqsim. Yang patut dicatat, ‘illah harus bersifat permanen (senantiasa relevan pada berbagai situasi, kondisi, waktu, dan tempat), jelas dan mudah diukur, dan bersifat pasti (karena didasarkan pada pemikiran dan dugaan yang mapan, bukan sekedar persangkaan yang serampangan). (Ilmu Ushul al-Fiqh oleh Abdul Wahhab Khallaf).

Perlu diketahui bahwasanya Allah terkadang mendiamkan beberapa persoalan (dengan tidak menerangkannya melalui nash syar’i, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah), bukan karena lupa, namun sebagai rahmat bagi para hamba-Nya. Persoalan-persoalan sedemikian ini sering disebut sebagai persoalan yang didiamkan oleh nash (al-maskut ‘anhu). Dalam memandang persoalan-persoalan ini, para ulama berbeda pendapat. Namun, mereka sepakat bahwasanya Islam adalah din yang kamil (paripurna), sehingga dalam pandangan Islam, segala persoalan mesti ada hukumnya. Secara umum, mereka terbagi dalam dua golongan.

Golongan pertama mengatakan bahwasanya al-maskut ‘anhu adalah rahmat Allah dan bukan akibat kealpaan-Nya. Kita tidak perlu terlalu mem-forsir kekuatan dan melanggengkan perdebatan dalam hal al-maskut ‘anhu. Sebaiknya, kita berpegang pada prinsip kontinuitas (al-istish-hab), seperti prinsip al-ibahah al-ashliyyah (Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai datang ketentuan yang melarangnya) / al-bara-ah al-ashliyyah (Status setiap orang adalah bebas [terlepas dari tuntutan] sampai datang hujjah yang menafikannya), ketentuan bahwasanya hukum asal segala bentuk ta’abbud adalah terlarang sampai datang ketentuan yang menafikan larangan tersebut, dan sebagainya. Sementara itu, golongan kedua mengatakan bahwa kita harus selalu melakukan qiyas atas al-maskut ‘anhu terhadap nash-nash yang ada. (Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam oleh Al-Syathibi, juz 1)

Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy menengahi kedua pendapat diatas dengan mengatakan bahwasanya terhadap al-maskut ‘anhu, kita harus melakukan ijtihad, dengan segala metodologinya, tidak terbatas pada qiyas atau al-istish-hab saja (barangkali bisa dikatakan sebagai ushul fiqh komparatif). Dalam pemikiran hukum, beliau memang sangat berjasa karena telah berhasil memformulasikan kembali konsep-konsep klasik kedalam “bahasa” yang lebih sistematis, sederhana, dan modern, sehingga mudah dipahami oleh orang-orang jaman sekarang. Hal ini terlihat, misalnya, dari konsep beliau tentang fiqh al-muwazanat.

Hal lain yang juga patut dicatat adalah bahwasanya berbagai pendapat ijtihadiy yang dikemukakan oleh para ulama melalui buku-buku mereka, adalah didasarkan pada situasi dan kondisi yang lazim berlaku, yang meliputi kebanyakan orang. Dalam hal ini, fatwa ditujukan kepada kebanyakan orang. Fatwa sedemikian ini tidak selalu cocok untuk setiap orang, karena ada sebagian orang yang dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang spesifik, diluar situasi dan kondisi yang diasumsikan oleh para ulama tersebut. Karena itu terkadang para ulama mengemukakan hukum suatu persoalan dengan mengatakan,”Hukum persoalan ini bersifat kondisional, tergantung pada ini dan itu”. Karena itu, sangat boleh jadi seorang mufti akan memberikan solusi hukum yang berbeda kepada orang-orang yang berbeda, karena memang situasi dan kondisi yang melingkupi orang-orang tersebut berbeda. Yang demikian ini karena mufti harus menimbang maslahah dan madharat untuk kemudian mengambil keputusan hukum.
Hukum Mubah

Berikut ini penulis ingin memberikan sedikit gambaran mengenai hukum mubah. Ada dua orang yang sedang berjalan dibawah sinar matahari yang terik. Yang satu menggunakan payung sedangkan yang lainnya tidak, padahal dia mempunyai payung dan juga tidak menyebabkan kesulitan seandainya memakai payungnya itu. Tentu saja yang memakai payung merasa teduh sementara yang tidak mengenakan payung merasa kepanasan.

Menggunakan payung atau tidak pada kejadian diatas adalah mubah, dan sifatnya ikhtiyariy (boleh pilih). Jadi dengan tidak memakai payung, bukan berarti lebih utama (berpahala) daripada yang memakai payung, dengan alasan telah rela menahan panas. Keduanya sama saja – wa al-Lah a’lam – dihadapan Allah. Karena itu, daripada tidak ada keutamaan antara satu sama lain maka lebih baik kita memakai payung, karena kita bisa merasa teduh dan tidak kepanasan. Bahkan, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Allah merasa senang apabila melihat bekas nikmatnya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
Makna Fitnah

Disini penulis perlu menjelaskan sedikit tentang makna fitnah karena kata ini akan sering digunakan. Fitnah dalam bahasa Arab tidak sama dengan fitnah dalam bahasa Indonesia. Apa yang sering disebut sebagai fitnah dalam bahasa Indonesia (yakni yang berarti gosip), dalam bahasa Arab disebut al-tuhmah. Sedangkan kata al-fitnah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Makna dominannya adalah ujian atau cobaan. Karena itu dunia dan segala isinya sering dikatakan sebagai fitnah, yang berarti ujian bagi manusia. Fitnah terkadang juga bermakna siksaan. Karena itu siksaan (intimidasi) orang-orang kafir Quraisy terhadap kaum muslimin dikatakan sebagai fitnah, sebagaimana firman Allah “wa al-fitnah asyaddu min al-qatl” (Hal ini selaras dengan pendapat para mufassir bahwa al-fitnah dalam ayat ini bermakna kekafiran). Siksa Allah terhadap orang-orang durhaka pada Hari Pembalasan juga sering disebut sebagai fitnah.

Ketika Rasulullah mengatakan bahwa wanita merupakan fitnah yang paling dahsyat maka makna fitnah disini adalah godaan (ujian dari Allah dalam bentuk godaan). Dalam tulisan ini selanjutnya, kata fitnah akan digunakan dengan makna godaan.
Setiap Manusia Ingin Diperhatikan

Secara umum, manusia cenderung berharap untuk dilihat dan diperhatikan, termasuk didalamnya diajak bicara. Sebaliknya, manusia seringkali merasa merana, sedih, sakit hati, bahkan tersiksa batinnya apabila tidak dilihat, tidak diperhatikan, atau tidak diajak bicara. Yang demikian ini adalah fitrah.

Karena itu, tidak mengherankan jika Allah menggambarkan didalam Al-Qur’an bahwa pada Hari Kiamat kelak, Dia tidak akan memandang orang-orang yang ingkar dan tidak pula mengajak mereka bicara, sebagai salah satu bentuk siksaan. Renungkan pula alangkah tersiksanya dua sahabat Nabi yang mendapatkan sanksi moral tidak diajak bicara, karena tidak turut serta dalam suatu perang jihad. Ini semua menunjukkan bahwa memang pada asalnya, manusia cenderung berharap untuk diperhatikan.

Namun apabila permasalahannya adalah antara pria dan wanita, maka terdapat madharat yang akan mungkin timbul yaitu fitnah. Kunci solusi berbagai persoalan tersebut adalah menimbang antara maslahah dan madharat. Yang demikian ini adalah niscaya karena di alam nyata ini tidak ada sesuatu yang murni baik ataupun murni buruk, sebaliknya kebaikan dan keburukan senantiasa bercampur pada sesuatu (Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam oleh Al-Syathibi, juz 2, kitab al-Maqashid). Ini hendaknya tidak dirancukan dengan firman Allah “wa la talbisu al-haqq bi al-bathil”, karena masing-masing ada tempatnya.

source: menaraislam.com
logoblog

No comments:

Post a Comment